HIDUP UNTUK ISLAM

“ Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada seseorang yang mengajak kepada Allah dan beramal saleh “ ( QS.Fushilat/41 : 33 )

Dalam sebuah konferensi islam di Kuwait pada awal bulan November yang lalu, Syekh Yusuf Qardhawi, ketua persatuan ulama Islam sedunia menyatakan : “ Jika umat islam memerlukan sepuluh orang untuk mati syahid, maka akan datang seratus orang yang merelakan dirinya untuk mati syahid, tetapi jika umat Islam memerlukan sepuluh orang untuk hidup dalam perjuangan dakwah, maka belum tentu seorangpun akan menyatakan dirinya bersedia untuk melakukannya “. Padahal, lanjut Qardhawi sekarang ini ada tiga milyar manusia yang tidak mengetahui tentang ajaran islam, mereka juga tidak mengetahui tentang perjalanan hidup nabi Muhammadsaw. Disana juga ada yang mengetahui islam tetapi dalam pemahaman yang keliru, pemahaman yang sesat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Dalam keadaan demikian, berapa banyak umat Islam yang tergerak hatinya untuk melakukan dakwah, untuk menyampaikan islam yang ramah, dengan akhlak yang mulia. Berapa banyak umat islam yang komitmen untuk menjalankan ajaran islam dengan baik, dan berapa banyak umat Islam yang telah menyediakan dirinya untuk perjuangan dakwah islam dan menyampaikan risalah islam dimanapun dia berada? Inilah yang menjadi kegusaran ulama tokoh ulama islam tersebut dengan keadaan umat Islam hari ini yang lebih banyak bersikap emosional untuk mati syahid tetapi kurang perhatian untuk mengamalkan dan menyebarkan dakwah islam sebaagi rahmat bagi umat manusia.

Qardhawi dalam pidatonya mengambil contoh sebuah kisah sewaktu beliau berada di suatu kampong yang terpencil, di Negara Sudan, tiba-tiba dia mendengar lonceng berbunyi. Mendengar bunyi lonceng tersebut, penduduk kampong segera berlari menjumpai seorang yang baru datang ke kampung tersebut. Sewaktu ditanya kepada penduduk kampung tersebut, mengapa mereka berlari menjumpai orang tersebut..? Penduduk kampung menjawab : ” Itu lonceng sebagai tanda bahwa orang tua kami telah datang, maka kami segera menjumpai beliau ”. Syekh Yusuf Qardhawi bertanya lagi : ” Siapakah orangtua yang kalian jumpai itu ? ”. Penduduk kampung tersebut menjawab : ” Dia adalah seorang lelaki tua yang selalu datang ke kampung ini dengan membawa dua koper. Satu koper berisi makanan yang kami perlukan, dan satu koper lagi berisi obat-obatan untuk mengobati siapa yang sakit diantara kami. Orangtua itu akan datang menjumpai kami di kampung ini dua kali dalam setiap minggu. Sambil memberikan bantuan makanan dan obat-obatan, orangtua itu selalu bercerita tentang pribadi isa al masih dan maryam ”. Mendengar cerita demikian, seseorang bertanya kepada orangtua tersebut : Wahai orangtua , bapak berasal dari mana ? Orangtua itu menjawab : Saya berasal dari negara Belgia, dan saya telah melakukan kegiatan seperti ini selama tiga puluh tahun ”. Mereka bertanya lagi kepadanya : ” Bila bapak akan balik pulang ke negeri bapak ? Orangtua itu menjawab : ” Inilah negeri tempat tinggal saya, dan saya telah berniat untuk mati di tempat ini ”. Seikh Yusuf Qardhawi mengakhiri ceritanya di depan peserta seminar dengan ungkapan : ” inilah kisah seorang yang beriman dengan agamanya, dan telah hidup untuk menyebarkan agamanya, dan ingin mati dalam menjalankan penyebaran agamanya di tengah-tengah kampung kaum muslimin. Sekarang ini yang harus menjadi fokus perhatian kita apakah yang telah kita perbuat untuk memperkenalkan dan menyebarkan agama kita, usaha apa yang telah kita lakukan untuk mengenalkan pribadi nabi kita kepada kampung kaum muslimin tersebut sebagai respons terhadap yang dilakukan oleh orangtua dari Belgia tersebut? Demikian tanya Yusuf Qardhawi kepada peserta yang hadir.

Kisah seperti orangtua Belgia diatas juga pernah penulis jumpai sewaktu penulis berkunjung ke asrama anak yatim piatu korban tsunami di Aceh. Penulis melihat seorang bule duduk di asrama tersebut mengajarkan bahasa Inggeris kepada anak-anak yatim. Penulis bertanya kepada orang tersebut : Bapak berasal dari mana ? Orangtua tersebut mengatakan dia berasal dari negeri Inggeris. Penulis bertanya lagi, apakah pekerjaannya sewaktu di Inggeris dahulu ? Dia menjawab bahwa dia adalah bekas seorang dosen sastra inggeris dari sebuah universitas di Inggeris, tetapi sekarang ini dia sudah memasuki masa pensiun. Pada suatu hari dia melihat iklan di sebuah surat kabar Inggeris bahwa diperlukan tenaga suka rela ( volunteer ) untuk anak-anak korban tsunami. Akhirnya dia berpikir bahwa daripada dia hidup di Inggeris menghabiskan masa pensiun, lebih baik dia mengabdikan dirinya ke Aceh mengajarkan anak-anak aceh berbahasa Inggeris. Gaji pensiun tetap jalan, dan dia hanya ingin menghabiskan sisa umurnya untuk memberikan sedikit ilmu pengathuannya kepada mereka yang membutuhkan.

Kita lihat berapa banyak tenaga profesional umat islam yang pakar di bidang masing-masing yang sedang menjalani masa pensiun. Mereka hidup menghabiskan sisa umur dengan duduk-duduk saja, jalan kesana, jalan kemari. Anak-anak mereka sudah besar dan mandiri, dan mereka hanya tinggal di rumah berdua dengan isteri. Gaji pensiun cukup untuk menjalani kehidupan. Mereka hanya berpikir bagaimana untuk menikmati sisa-sisa hidup dengan penuh kenikmatan, hiburan, jalan-jalan. Mengapa mereka tidak berpikir sebagaimana seorangtua dari Inggeris tadi, bagaimana untuk menjalani sisa umur dengan melakukan pengabdian kepada masyarakat yang membutuhkan. Misalnya jika dia seorang pensiunan dokter, mungkin dapat memberikan penyuluhan, bimbingan kepada masyarakat bagaimana untuk menjaga kesehatan. Jika dia seorang ekonom, dia dapat memberikan bimbingan mengelola usaha kecil kepada penguasa kecil seperti penjual bakso, dan lain sebagainya. Kalau dia bekas psikolog, dia dapat mengadakan konsultasi psikologi kepada masyarakat kampung. Kalau dia bekas seorang guru, maka dia dapat memberikan bimbingan cara mengajar yang baik kepada guru-guru sekolah di kampung-kampung. Dengan demikian, mereka telah melakukan amal jariyah di sisa umur, telah memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat dan generasi mendatang.

Tetapi sayang, banyak kaum muslimin pada saat sekarang ini, jika dia telah masuk masa pensiun, dan mempunyai uang yang banyak, maka yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana banyak ke masjid, beribadah tiap waktu. Kalau ada duit lagi, karena gaji pensiun terus jalan sedangkan tanggungan berkurang, maka yang dipikirkannya adalah bagaimana pergi umrah tiap tahun. Memang itu semua merupakan ibadah yang sarat dengan pahala, karena merupakan ibadah ritual yang dilakukan; tetapi alangkah bainya jika waktu di akhir umur, di masa pensiun itu dipakai untuk beramal jariyah yang dulu tidak sempat dilakukan, sebab sibuk dengan kerja. Di masa pensiun inilah sebetulnya kita mempunyai kesempatan yang luas untuk berbuat amal jariyah kepada umat islam yang memerlukan bimbingan, bantuan, perhatian, dan kasih sayang. Perhatian kita, bantuan kita, bimbingan kita kepada mereka itu merupakan dakwah, sebab dakwah itu bukan hanya kerja para ustaz dan guru agama, tetapi juga merupakan tugas kita semua dengan profesi kita masing-masing.

Kesiapan diri untuk melakukan tugas dakwah dengan profesi kita masing-masing, membantu kaum dhuafa, kaum yang miskin ini merupakan cara kita hidup untuk islam. Demikian juga dengan ibadah qurban. Kita melihat kadang-kadang di suatu kampung semua sibuk dan malahan ada yang memaksakan dirinya untuk memotong daging korban dengan satu kambing atau satu bagian lembu. Ada satu rumah yang kaya, mempunyai empat orang anak. Di depan rumah tersebut ada rumah seorang miskin. Setiap tahun jika datang hari raya Idul Adha biasanya semua penghuni rumah kaya tadi akan menyembelih qurban. Karena mereka ada tujuh maka mereka sepakat untuk menyembelih qurban seekor sapi yang harganya enam juta lebih. Di depan rumah ada keluarga miskin yang bertahun-tahun menderita. Apalah salahnya jika keluarga yang kaya tersebut berniat bagaimana kalau niat qurban kita tahun ini ( memang biasanya melakukan qurban setiap tahun ) kita gantikan saja dengan memberikan bantuan modal untuk keluarga yang miskin tadi. Misalnya uang enam juta tadi yang akan dipakai untuk membeli sapi, diberikan saja kepada keluarga miskin untuk membeli gerobak bakso dan modal menjual bakso, sehingga keluarga miskin di depan rumah tadi dapat keluar daripada kemiskinan. Jika uang enam juta dibelikan satu ekor sapi maka dalam satu minggu dagingnya habis dimakan, maka uang yang sama dijadikan modal untuk faqir miskin, maka uang itu akan kekal menjadi amal jariyah. Walaupun dia tidak berqurban pada tahun ini, tetap masih ada yang berqurban sehingga ibadah qurban tetap ada, hanya saja biasanya di kampung itu lima ekor sapi, sekarang tinggal empat atau tiga ekor. Dengan demikian, ibadah qurban berjalan dan tujuan qurban membantu ekonomi kaum dhuafa juga berjalan dengan baik. Semoga kisah orangtua di Sudan, dan pensiunan dosen bahasa Inggeris di Aceh tersebut dapat memberikan motivasi kepada kita bagaimana kita dapat hidup untuk dakwah dan islam dengan profesi kita masing-masing. ( Muhammad Arifin Ismail, Mahasiswa Pasca sarjana Sejarah dan Tamadun Islam, Universitas Malaya, Kuala Lumpur ).

Tinggalkan komentar